Translate
Rabu, 04 Juni 2014
Minggu, 01 Juni 2014
Berfikir Positif
George
Danzig adalah seorang mahasiswa di salah satu universitas. Suatu hari dia
terlambat untuk datang pada mata kuliah matematika. Dia memasuki ruang kelas,
namun ternyata kelas sudah bubar.
George kemudian melihat 2 buah soal yang tertulis di papan, dia lalu berpikir bahwa itu pasti adalah soal PR yang baru diberikan oleh profesornya, sehingga dicatatnya soal itu di buku dan membawanya pulang ke rumah.
Berhari-hari dia mencoba untuk menyelesaikan PR tersebut, berbagai cara dia coba.
Dia berpikir, “Tidak biasanya profesor memberi tugas demikian sulitnya, tapi soal ini pasti ada jawabannya, pasti ada..."
Akhirnya, setelah mencoba dan mencoba, dia berhasil mengerjakan soal nomor 1.
Esok harinya, karena sejak awal dia mengira bahwa soal-soal itu adalah PR, maka dia mengumpulkan jawaban soal itu dan meletakkannya di meja kerja profesornya.
Sang profesor bertanya, “Bagaimana kamu bisa menyelesaikan soal ini?"
Dia menjawab, "Ketika itu saya terlambat mengikuti mata kuliah bapak, lalu saya melihat 2 soal ini di papan tulis dan saya berpikir bahwa itu adalah PR yang harus dikerjakan di rumah."
Anda tahu apa jawaban dari sang profesor?
"Soal itu saya tulis di papan ketika sedang menjelaskan tentang 2 buah soal yang tersulit di muka bumi ini."
(Pada saat itu belum ada seorangpun yang bisa memecahkannya!)
Berarti andaikan saja saat itu George mengikuti mata kuliah tersebut, mungkin dia akan ikut berpikir bahwa itu memang soal tersulit dan memang tak seorangpun dapat menyelesaikannya.
Bisa saja dia ikut teracuni oleh kata-kata sang profesor tentang sulitnya soal tersebut.
Saat ini, George sudah menjadi profesor terkenal di Stanford University, dialah pemecah soal tersulit, dan dia memecahkannya saat dia tidak tahu bahwa yang di kerjakannya adalah soal tersulit yang pernah ada.
Segala hal akan terasa SULIT bila kita menganggap,
bahwa yang 'SULIT' itu memang benar SULIT.
Jadi alangkah baiknya jika kita memulai sesuatu tanpa ada anggapan 'SULIT', karena sesungguhnya 'SULIT' hanyalah ANGGAPAN saja bukan KENYATAAN.
George kemudian melihat 2 buah soal yang tertulis di papan, dia lalu berpikir bahwa itu pasti adalah soal PR yang baru diberikan oleh profesornya, sehingga dicatatnya soal itu di buku dan membawanya pulang ke rumah.
Berhari-hari dia mencoba untuk menyelesaikan PR tersebut, berbagai cara dia coba.
Dia berpikir, “Tidak biasanya profesor memberi tugas demikian sulitnya, tapi soal ini pasti ada jawabannya, pasti ada..."
Akhirnya, setelah mencoba dan mencoba, dia berhasil mengerjakan soal nomor 1.
Esok harinya, karena sejak awal dia mengira bahwa soal-soal itu adalah PR, maka dia mengumpulkan jawaban soal itu dan meletakkannya di meja kerja profesornya.
Sang profesor bertanya, “Bagaimana kamu bisa menyelesaikan soal ini?"
Dia menjawab, "Ketika itu saya terlambat mengikuti mata kuliah bapak, lalu saya melihat 2 soal ini di papan tulis dan saya berpikir bahwa itu adalah PR yang harus dikerjakan di rumah."
Anda tahu apa jawaban dari sang profesor?
"Soal itu saya tulis di papan ketika sedang menjelaskan tentang 2 buah soal yang tersulit di muka bumi ini."
(Pada saat itu belum ada seorangpun yang bisa memecahkannya!)
Berarti andaikan saja saat itu George mengikuti mata kuliah tersebut, mungkin dia akan ikut berpikir bahwa itu memang soal tersulit dan memang tak seorangpun dapat menyelesaikannya.
Bisa saja dia ikut teracuni oleh kata-kata sang profesor tentang sulitnya soal tersebut.
Saat ini, George sudah menjadi profesor terkenal di Stanford University, dialah pemecah soal tersulit, dan dia memecahkannya saat dia tidak tahu bahwa yang di kerjakannya adalah soal tersulit yang pernah ada.
Segala hal akan terasa SULIT bila kita menganggap,
bahwa yang 'SULIT' itu memang benar SULIT.
Jadi alangkah baiknya jika kita memulai sesuatu tanpa ada anggapan 'SULIT', karena sesungguhnya 'SULIT' hanyalah ANGGAPAN saja bukan KENYATAAN.
Mencari Kerja
Suatu
hari, di sebuah kota kecil, tampak seorang remaja tertarik melihat iklan
lowongan pekerjaan sebagai pengantar barang di sebuah toko. Anak itu pun
kemudian menemui pemilik toko untuk melamar pekerjaan tersebut.
“Kami memang membutuhkan orang untuk membantu mengirimkan barang-barang pesanan ke pelanggan,” kata pemilik toko.
“Mengenai pekerjaan ini, bolehkan saya mengajukan enam pertanyaan kepada bapak?” tanya remaja itu kepada pemilik toko.
“Silakan,” jawab pemilik toko.
“Pertama, berapa gaji bulanan yang akan saya terima? Kedua, jam berapa mulai bekerja dan sampai pukul berapa? Ketiga, berapa lama waktu yang diberikan untuk istirahat dan makan siang setiap harinya? Lalu keempat, berapa hari libur selama setahun? Dan kelima, berapa biaya pengobatan yang diberikan bila saya sakit?” tanya anak tersebut.
Setelah pemilik toko menjawab kelima pertanyaan tersebut dengan jelas. Si anak mengajukan pertanyaannya yang keenam, “Apakah ada sepeda yang bisa digunakan untuk tugas mengantar barang ke pelanggan?”
“Wah, kami tidak menyediakan sepeda untuk mengantarkan barang barang itu, tetapi…..” Belum selesai pertanyaan dijawab, si anak memotong ucapan pemilik toko.
“Oh, kalau begitu saya tidak jadi melamar pekerjaan ini.” Kemudian dia bergegas pergi meninggalkan toko.
Dua jam kemudian, ada seorang remaja lain yang datang ke toko tersebut dengan maksud sama seperti remaja sebelumnya, yaitu mengisi lowongan pekerjaan di toko tersebut.
Setelah tahu jenis pekerjaan yang ditawarkan, si anak pun setuju untuk mulai bekerja disana.
“Apakah kamu perlu tahu berapa gaji disini?” tanya pemilik toko dengan ramah.
“Tidak perlu,” jawab pelamar itu dengan sopan. “Saya lihat bapak adalah orang yang baik dan bijaksana, pasti akan memberi gaji yang layak kepada saya. Lagi pula, saya membutuhkan pekerjaan untuk mendapatkan uang untuk membantu ibu saya. Asal saya bisa mengisi lowongan pekerjaan di sini, saya sudah senang sekali.”
Melihat kesungguhan remaja ini, pemilik toko pun berkata, “Dua jam yang lalu ada orang seusiamu yang datang kemari untuk menanyakan beberapa hal mengenai pekerjaan ini. Semua pertanyaan sudah saya jawab. Saat saya sedang menjawab pertanyaannya yang keenam, yaitu adakah sepeda yang disediakan untuk pengantaran barang, saya jawab tidak ada. Dan pelamar kerja tadi langsung pergi begitu saja...”
“Perlu kamu ketauhi, saya memang tidak menyediakan sepeda, tetapi ada sebuah motor baru yang saya sediakan untuk mengantarkan barang. Bagaimana? Kamu siap bekerja keras kalau saya menerima kamu bekerja di sini?”
Dengan senyum lebar si anak menjawab, “Terima kasih Pak, saya siap bekerja keras!”
Apa perbedaan dua remaja pencari pekerjaan tadi? Mereka mempunyai kesempatan yang sama dan pekerjaan yang sama pula. Akan tetapi, cara berpikir dan sikap mereka yang berbeda, membuat pelamar pertama kehilangan kesempatan bekerja yang sudah ada di depan matanya. Sementara pelamar kedua dengan sikap yang lebih positif, akhirnya mendapatkan kesempatan bekerja dengan fasilitas yang memadai.
Dalam bekerja, yang kita butuhkan bukan sekadar menuntut apa yang akan kita terima, tetapi harus dimulai dengan apa yang mampu kita beri. Sebenarnya, bagi saya, kita bukan sekadar bekerja untuk atasan atau bos, tetapi lebih dari itu, kita bekerja untuk diri kita sendiri sesuai dengan tanggung jawab dan kepercayaan yang diberikan kepada kita.
Percayalah, dengan sikap mental bekerja seperti itu, tentu integritas dan kemajuan karir kita akan terbangun secara mantap!
“Kami memang membutuhkan orang untuk membantu mengirimkan barang-barang pesanan ke pelanggan,” kata pemilik toko.
“Mengenai pekerjaan ini, bolehkan saya mengajukan enam pertanyaan kepada bapak?” tanya remaja itu kepada pemilik toko.
“Silakan,” jawab pemilik toko.
“Pertama, berapa gaji bulanan yang akan saya terima? Kedua, jam berapa mulai bekerja dan sampai pukul berapa? Ketiga, berapa lama waktu yang diberikan untuk istirahat dan makan siang setiap harinya? Lalu keempat, berapa hari libur selama setahun? Dan kelima, berapa biaya pengobatan yang diberikan bila saya sakit?” tanya anak tersebut.
Setelah pemilik toko menjawab kelima pertanyaan tersebut dengan jelas. Si anak mengajukan pertanyaannya yang keenam, “Apakah ada sepeda yang bisa digunakan untuk tugas mengantar barang ke pelanggan?”
“Wah, kami tidak menyediakan sepeda untuk mengantarkan barang barang itu, tetapi…..” Belum selesai pertanyaan dijawab, si anak memotong ucapan pemilik toko.
“Oh, kalau begitu saya tidak jadi melamar pekerjaan ini.” Kemudian dia bergegas pergi meninggalkan toko.
Dua jam kemudian, ada seorang remaja lain yang datang ke toko tersebut dengan maksud sama seperti remaja sebelumnya, yaitu mengisi lowongan pekerjaan di toko tersebut.
Setelah tahu jenis pekerjaan yang ditawarkan, si anak pun setuju untuk mulai bekerja disana.
“Apakah kamu perlu tahu berapa gaji disini?” tanya pemilik toko dengan ramah.
“Tidak perlu,” jawab pelamar itu dengan sopan. “Saya lihat bapak adalah orang yang baik dan bijaksana, pasti akan memberi gaji yang layak kepada saya. Lagi pula, saya membutuhkan pekerjaan untuk mendapatkan uang untuk membantu ibu saya. Asal saya bisa mengisi lowongan pekerjaan di sini, saya sudah senang sekali.”
Melihat kesungguhan remaja ini, pemilik toko pun berkata, “Dua jam yang lalu ada orang seusiamu yang datang kemari untuk menanyakan beberapa hal mengenai pekerjaan ini. Semua pertanyaan sudah saya jawab. Saat saya sedang menjawab pertanyaannya yang keenam, yaitu adakah sepeda yang disediakan untuk pengantaran barang, saya jawab tidak ada. Dan pelamar kerja tadi langsung pergi begitu saja...”
“Perlu kamu ketauhi, saya memang tidak menyediakan sepeda, tetapi ada sebuah motor baru yang saya sediakan untuk mengantarkan barang. Bagaimana? Kamu siap bekerja keras kalau saya menerima kamu bekerja di sini?”
Dengan senyum lebar si anak menjawab, “Terima kasih Pak, saya siap bekerja keras!”
Apa perbedaan dua remaja pencari pekerjaan tadi? Mereka mempunyai kesempatan yang sama dan pekerjaan yang sama pula. Akan tetapi, cara berpikir dan sikap mereka yang berbeda, membuat pelamar pertama kehilangan kesempatan bekerja yang sudah ada di depan matanya. Sementara pelamar kedua dengan sikap yang lebih positif, akhirnya mendapatkan kesempatan bekerja dengan fasilitas yang memadai.
Dalam bekerja, yang kita butuhkan bukan sekadar menuntut apa yang akan kita terima, tetapi harus dimulai dengan apa yang mampu kita beri. Sebenarnya, bagi saya, kita bukan sekadar bekerja untuk atasan atau bos, tetapi lebih dari itu, kita bekerja untuk diri kita sendiri sesuai dengan tanggung jawab dan kepercayaan yang diberikan kepada kita.
Percayalah, dengan sikap mental bekerja seperti itu, tentu integritas dan kemajuan karir kita akan terbangun secara mantap!
Hormati Orang Tua
Ketika Aku Sudah Tua
Ketika
aku sudah tua, bukan lagi aku yang semula.
Mengertilah, bersabarlah sedikit terhadap aku.
Ketika pakaianku terciprat sup, ketika aku lupa bagaimana mengikat sepatu, ingatlah bagaimana dahulu aku mengajarmu.
Ketika aku berulang-ulang berkata-kata tentang sesuatu yang telah bosan kau dengar, bersabarlah mendengarkan, jangan memutus pembicaraanku.
Ketika kau kecil, aku selalu harus mengulang cerita yang telah beribu-ribu kali kuceritakan agar kau tidur.
Ketika aku memerlukanmu untuk memandikanku, jangan marah padaku.
Ingatkah sewaktu kecil aku harus memakai segala cara untuk membujukmu mandi?
Ketika aku tak paham sedikitpun tentang tekhnologi dan hal-hal baru, jangan mengejekku.
Pikirkan bagaimana dahulu aku begitu sabar menjawab setiap “mengapa” darimu.
Ketika aku tak dapat berjalan, ulurkan tanganmu yang masih kuat untuk memapahku.
Seperti aku memapahmu saat kau belajar berjalan waktu masih kecil.
Ketika aku seketika melupakan pembicaraan kita, berilah aku waktu untuk mengingat.
Sebenarnya bagiku, apa yang dibicarakan tidaklah penting, asalkan kau disamping mendengarkan, aku sudah sangat puas.
Ketika kau memandang aku yang mulai menua, janganlah berduka.
Mengertilah aku, dukung aku, seperti aku menghadapimu ketika kamu mulai belajar menjalani kehidupan.
Waktu itu aku memberi petunjuk bagaimana menjalani kehidupan ini, sekarang temani aku menjalankan sisa hidupku.
Beri aku cintamu dan kesabaran, aku akan memberikan senyum penuh rasa syukur.
Keluaran 20:12
Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu.
Mengertilah, bersabarlah sedikit terhadap aku.
Ketika pakaianku terciprat sup, ketika aku lupa bagaimana mengikat sepatu, ingatlah bagaimana dahulu aku mengajarmu.
Ketika aku berulang-ulang berkata-kata tentang sesuatu yang telah bosan kau dengar, bersabarlah mendengarkan, jangan memutus pembicaraanku.
Ketika kau kecil, aku selalu harus mengulang cerita yang telah beribu-ribu kali kuceritakan agar kau tidur.
Ketika aku memerlukanmu untuk memandikanku, jangan marah padaku.
Ingatkah sewaktu kecil aku harus memakai segala cara untuk membujukmu mandi?
Ketika aku tak paham sedikitpun tentang tekhnologi dan hal-hal baru, jangan mengejekku.
Pikirkan bagaimana dahulu aku begitu sabar menjawab setiap “mengapa” darimu.
Ketika aku tak dapat berjalan, ulurkan tanganmu yang masih kuat untuk memapahku.
Seperti aku memapahmu saat kau belajar berjalan waktu masih kecil.
Ketika aku seketika melupakan pembicaraan kita, berilah aku waktu untuk mengingat.
Sebenarnya bagiku, apa yang dibicarakan tidaklah penting, asalkan kau disamping mendengarkan, aku sudah sangat puas.
Ketika kau memandang aku yang mulai menua, janganlah berduka.
Mengertilah aku, dukung aku, seperti aku menghadapimu ketika kamu mulai belajar menjalani kehidupan.
Waktu itu aku memberi petunjuk bagaimana menjalani kehidupan ini, sekarang temani aku menjalankan sisa hidupku.
Beri aku cintamu dan kesabaran, aku akan memberikan senyum penuh rasa syukur.
Keluaran 20:12
Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu.
Langganan:
Postingan (Atom)